Baca Juga
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar
Parawansa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. (ANTARA FOTO/Moch Asim)
MPA, JAKARTA -- Pemerintah Kota Surabaya dan Provinsi Jawa
Timur kembali terlibat kisruh penanganan wabah virus corona (Civid-19), yang
turut menyeret Wali Kota Tri Rismaharini dan Gubernur Khofifah Indar Parawansa.
Kisruh ini dipicu oleh saling klaim siapa yang berhak
memiliki mobil tes Polymerase Chain Reaction (PCR) Covid-19 dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB).
Menurut Risma, Kota Surabaya berhak atas mobil tersebut karena
telah meminta lebih dulu kepada Gugus Tugas pusat.
Risma meluapkan kekecewaannya secara terbuka kepada
masyarakat. Dia bahkan merasa disabotase dalam upayanya menangani wabah virus corona.
Di sisi lain, Ketua Rumpun Logistik Gugus Tugas Covid-19 Jawa
Timur, Suban Wahyudiono mengklaim pihaknya tidak mengalihkan bantuan dua unit
mobil PCR seperti yang diklaim Risma.
Meski tak selalu terang-terangan, kisruh antara Kota Surabaya
dan Pemprov Jatim bukan pertama ini terjadi.
Sebelumnya, baik Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya saling
silang pendapat merespons penyebaran virus corona di pabrik rokok PT. H.M
Sampoerna, Surabaya.
Kala itu, Khofifah menuduh Pemkot Surabaya lamban dalam
merespons penyebaran corona karyawan pabrik PT. H.M Sampoerna tersebut. Pemkot
Surabaya melalui Wakil Koordinator Hubungan Masyarakat Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19, M Fikser merespons dengan menyatakan telah bertindak
cepat.
Suko Widodo, pengamat komunikasi politik dari Universitas
Airlangga Surabaya menyebut kisruh Risma-Khofifah tidak produktif dalam
menangani persoalan wabah corona di Jawa Timur.
Lagi pula, kata dia, kepala daerah tak seharusnya mengumbar
perselisihan ke publik.
Lihat juga: Kronologi Kisruh Mobil PCR Antara Risma dan
Pemprov Jatim
"Komunikasi yang sifatnya emosional kurang tepat
digunakan dalam menghadapi permasalahan. Karena enggak semua pesan-pesan oleh
pejabat negara itu semua harus dilempar ke publik," kata Suko, Sabtu
(30/5)
Ia menjelaskan pemimpin punya etika untuk tidak menceritakan
dan berkeluh kesah kepada rakyat tentang problem yang dihadapinya saat
menyelesaikan persoalan tertentu. Pemimpin seharusnya bisa mencari jalan keluar
dan solusi terbaik bagi kemaslahatan masyarakat.
"Rakyat sedang membutuhkan pertolongan, jadi perkara
kesulitan-kesulitan pemimpin harusnya enggak perlu disampaikan ke publik.
Rakyat butuh hasil nyatanya saja," kata Suko.
Kemarahan yang dipertontonkan ke publik, diduga Suko
bertujuan untuk mencari simpati dari masyarakat, terutama dari para
pendukungnya. Dengan mendapat simpati, pemimpin bisa mendulang dukungan dari
setiap sikap yang diambil. Namun Suko tak yakin cara ini manjur di tengah
kondisi Jatim yang tertatih ditimpa wabah corona.
Suko menyebut yang dibutuhkan warga saat ini adalah kerja
nyata dan pertolongan cepat dari pemerintah untuk menekan angka penyebaran
corona yang makin hari makin naik jumlahnya.
Data resmi Pemprov Jatim per Sabtu (30/5), terdapat 4.409
pasien positif corona. Dari jumlah itu Kota Surabaya memiliki pasien positif
corona sebanyak 2.394 orang.
Data tersebut menempatkan Jatim sebagai daerah dengan kasus
positif tertinggi setelah DKI. Sejumlah analis kesehatan bahkan khawatir Jatim
bisa melewati kasus positif di DKI.
"Jadi masyarakat Jatim lama-lama berfikir seperti sedang
mengalami kekosongan. Masyarakat tak butuh pertikaian, tapi kolaborasi, mereka
harus bersama-sama. Itu selesaikan lah cara baik-baik lah diantara
mereka," kata Suko.
Senada, pengamat politik dari Universitas Brawijaya Wawan
Sobari curiga hubungan antara Khofifah dan Risma pada dasarnya tak terjalin
baik.
"Jadi seperti ada relasi yang enggak bagus," kata
Wawan.
Hubungan yang tak baik itu berimbas pada cara kedua pemimpin
menerjemahkan wewenang antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota seperti
dalam kasus bantuan Mobil tes PCR dari BNPB.
"Kan peraturan desentralisasi itu clear, kalau urusan
levelnya kota ya silakan itu urusannya kota. Tapi kalau lintas kota ya itu
kewenangannya provinsi," kata dia.
Dalam kasus ini Wawan tak menyebut siapa yang berhak mendapat
mobil tersebut. Ia malah menyoroti BNPB yang tak secara tegas menjelaskan
kepada siapa mobil tersebut diberikan.
Terlepas dari apapun pemicunya, menurut Wawan persoalan
tersebut seharusnya bisa diatasi dengan 'kepala dingin'. Ia pun meminta agar
Khofifah dan Risma bertemu untuk mencari solusi terbaik dan berkoordinasi
mengenai pelbagai persoalan penanganan Covid-19.
Ia juga meminta agar pihak BNPB di level pusat untuk turun
tangan mempertemukan mereka agar persoalan bantuan Mobil tes PCR Covid-19 bisa
diselesaikan dengan baik.
"Jangan keliatan
yang tidak kompak dari pemerintah dalam menangani Covid-19. Jangan sampai
rakyat menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah," kata dia. (**)
Sumber : cnnindonesia.com