-->

Pansus Cipta Kerja DPD RI Kembali Gelar RDP, Kali ini Bersama Dua Pakar Hukum

Baca Juga

JAKARTA - MEDIAPORTALANDA - Pansus Cipta Kerja DPD RI kembali gelar Rapat Dengar Pendapat (RDP), kali ini bersama dua pakar hukum masing-masing Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dan Pakar Hukum Agraria, Aarce Tehupeiory, di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (14/6).

 

Salah satu poin penting pembahasan adalah menyangkut Putusan MK yang menyebutkan adanya penangguhan segala tindakan atau kebijakan bersifat strategis dan berdampak luas.


Ketua Pansus Cipta Kerja DPD RI, Alirman Sori mengatakan, pihaknya melakukan penelaahan implementasi terhadap ketentuan yang mengatur bidang pertanahan.

Hal tersebut tercantum dalam BAB VIII Pengadaan Tanah yang di dalamnya mengubah beberapa UU.


"Ada dua UU yang berubah yaitu UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelenjutan," ucapnya saat RDP tersebut.

 

Senator asal Sumbar tersebut menambahkan, selain mengubah beberapa ketentuan pasal, UU Cipta Kerja juga mengamanatkan kepada Pemerintah Pusat untuk membentuk bank tanah.


"Persoalan ini menjadi menarik mengingat konflik agraria dan pertanahan yang kerap terjadi di Indonesia," ujarnya.


Sedangkan, Anggota Pansus Cipta Kerja DPD RI, Novita Anakotta mengakui, UU Cipta Kerja ini telah menimbulkan konflik agraria.


Untuk itu ia mempertanyakan apakah UU ini dari sisi ketatanegaraan bisa membawa angin segar.


"UU ini telah menimbulkan konflik agraria, di sisi lain kita tidak tahu nantinya UU ini akan membawa angin segar, baik itu pembangunan atau investor," jelasnya.


Sementara, keterangan Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjelaskan, UU ini secara formil inkonstitusional.


Karena putusan ini patut diapresiasi tapi ada masalah mendasar sebab MK memisahkan antara proses dengan hasil.


"Putusan MK ini pada dasarnya mengatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, selama jeda waktu dua tahun ini harus dipandang tidak bisa diberlakukan alias membeku. Seharusnya di tingkat daerah juga tidak ada peraturan yang baru," tegasnya.


Bivitri menambahkan Peraturan Pemerintah (PP) yang sudah ada memang tidak otomatis batal seperti dikatakan dalam butir ke-4 Amar Putusan MK.


Putusan yang sama menyatakan tidak boleh ada tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.


"Penerapan 45 PP dan lima Perpres yang sudah ada itu pasti akan menimbulkan dampak luas, dalam arti berdampak pada warga, bukan hanya pebisnis," cetusnya.


Dukesempatan lain, Pakar Hukum Agraria Aarce Tehupeiory menjelaskan putusan MK ini berdampak negatif bagi masyarakat hukum adat, khususnya para petani yang bergantung pada menggarap lahan saja. (*)

[blogger]

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
F